Untuk melihat gambar-gambarnya, kamu bisa buka langsung Episode 95 dari Naver Webtoon Korea di sini.
Belum baca teks terjemahan episode sebelumnya? Cek di sini.
Gambar tidak disertakan karena dibatasi kontrak dengan pengarang.
BACA JUGA UNTOUCHABLE BAHASA INDONESIA (VERSI SUDAH BERGAMBAR)
YANG TERSEDIA DI SINI
JANGAN MENERUSKAN JIKA TIDAK INGIN SPOILER.
Kode warna:
Sia = Hitam Tebal
Jiho = Oranye
Baryu = Kuning
Sihwan = Abu-Abu
Mr. Choi = Merah
Moran = Ungu
Figuran lain = Hijau, dll.
Italic/Miring = tidak diucapkan
Narasi: italics, hitam biasa
----- START ----YANG TERSEDIA DI SINI
JANGAN MENERUSKAN JIKA TIDAK INGIN SPOILER.
Kode warna:
Sia = Hitam Tebal
Jiho = Oranye
Baryu = Kuning
Sihwan = Abu-Abu
Mr. Choi = Merah
Moran = Ungu
Figuran lain = Hijau, dll.
Italic/Miring = tidak diucapkan
Narasi: italics, hitam biasa
Hari telah berganti. Di ruang tamu, ayah Sia sedang merapikan dasinya.
"Di mana Sia? Kenapa dia belum keluar?", tanya sang ayah pada istrinya.
"Dia selalu berada di kamar terus sejak kemarin." jawab istrinya.
"Dasar, padahal baru dinasehati satu dua kali saja sudah jadi begini. Mana bisa dewasa?", gerutu sang ayah
"Inilah sebabnya aku tidak bisa membiarkan dia sendirian..."
"Ragi, kemarin kamu bilang sesuatu yang aneh sama kakakmu ya?", tanya ayah pada sang adik yang hendak berangkat kuliah. Sang adik langsung terkejut seketika.
"Ng, nggak kok! Memangnya aku bisa ngomong apa sih.... haha...." Jawab Ragi dengan gugup.
"Sebelum Sia pulang ke apartemen, hati-hatilah bicara dengannya, jangan bicara yang tidak diperlukan"
BRAK! Suara pintu ditutup, dan sang ayah hanya terdiam melihat anak laki-lakinya.
unTouchable Episode 95
Ini di mana?
"Bisa-bisanya kamu berteman sama manusia! Manusia itu cuma mangsa...!!", bentak sang ayah lagi.
"Kamu itu vampir! Kamu harus tahu itu!!"
"Tidak boleh punya hubungan dekat sama manusia! Mengerti?!"
"Aku tidak tahu kenapa ayah selalu berkata padaku seperti itu"
"Aku tidak suka cara ayah yang seperti ini"
"Awalnya kukira Ragi dan kak Moran juga diperlakukan seperti itu."
"Jadi aku tidak pernah menanyakannya pada mereka."
"Tapi, ternyata perlakuannya berbeda..."
"Ini nggak adil!! Ini diskriminasi!!"
"Kenapa cuma aku yang diperlakukan begini...!!"
kata Sia penuh kesal dalam hatinya
"Tok-Tok--- Putriku, apa kamu masih hidup?" sang ibu mendatangi Sia yang diam saja terbaring di kasurnya
"Besok kamu sudah mau kembali ke apartemen lagi kan? Ibu mau lihat wajah cantikmu dulu." sang ibu duduk di kasur sambil membelai-belai dengan hangat rambut Sia.
"Masih marah sama ayahmu ya?"
"Berilah ayahmu pengertian, dia itu tidak pintar bicara."
"................." Sia terdiam sejenak
"...Ibu, aku ini anak pungut ya?"
Tanya Sia, disambut agak terkejutnya sang ibu.
"Hahaha-- kamu itu bicara apa sih. Kan jelas-jelas kamu tumbuh secantik ibu."
"Tapi...!!! Kalau aku bukan anak pungut, lalu kenapa ayah begini terhadapku!!" Tanya Sia dengan nada agak tinggi
"Kenapa ayah cuma begini terhadapku, sementara Ragi sama kak Moran tidak diapa-apakan?!"
"Sebenarnya... ibu bisa mengerti kenapa ayahmu berbuat begini"
"Soalnya sejak kecil kamu itu suka bikin masalah."
"Dulu kamu suka merusak barang, suka nggak bikin PR, suka dipaksa ke sekolah."
Jawab sang ibu disambut dengan suramnya ekspresi wajah Sia.
"Tapi sebenarnya semua itu karena kamu terlalu jujur dan aktif"
"................." Sia terdiam sejenak
"Sia, dulu kamu suka membawa siapa pun main-main ke mana saja."
"Dulu kamu sangat periang, sangat berperasaan..."
"Tetapi inilah yang sangat dicemaskan sama ayahmu..."
"Karena kamu sangat mudah bergaul dengan manusia, jadi kalau kamu tidak dijaga, bisa-bisa kamu menghisap energi di mana-mana."
"Memang sih, sekarang kamu sudah besar. Tapi ayah masih melihat kamu seperti anak-anak."
"Itulah sebabnya ayah ketat sekali kalau sama kamu. Bukan karena dia nggak suka sama kamu."
"Duh nak-- kalau kamu itu bisa mendengarkan kata-kata ayahmu, dia pasti mau bicara baik-baik sama kamu. Masalahnya kamu suka berbuat apa pun yang kamu suka. Ingin makan langsung makan. Maunya mencari makanan yang enak-enak saja."
GLEK! Wajah Sia suram.
"Sebelum kamu kembali ke apartemen nanti, baik-baiklah dulu sama ayahmu. Bisa kan?"
"Iya, aku mengerti..."
"Ah, ibu lupa kalau masih mencuci baju! Ibu pergi lihat bajunya dulu ya"
Sang ibu pun bergegas pergi dari kamar Sia, lalu sembari sendirian di atas ranjang, Sia berbicara sendiri:
"Apakah semua ini karena aku saja yang terlalu sensitif...?"
"Ya sudahlah. Dari dulu ayah itu memang seperti ini. Lagian besok juga sudah hari yang terakhir, setelah itu kami bakalan lama nggak ketemu."
"Aku mau beres-beres barangku dulu."
Sementara itu di ruang kerjanya, Moran menelpon ayahnya.
"Halo? Ayah ya?"
"Ini aku, Moran"
"Besok aku mau pulang ke rumah sebentar, sekalian melihat-lihat keadaan Sia."
"Bagaimana keadaan Sia...?"
"Tapi... apa kamu sudah benar-benar yakin?"
"Kalau Sia punya hubungan yang sangat dekat... dengan manusia?"
"Tapi ayah tidak perlu cemas, ini bisa kuatur"
"Tidak perlu terlalu menekan dia, ayah biasa-biasa saja terhadapnya."
"Kalau tidak hati-hati... bisa-bisa kita mengingatkannya pada 'kejadian waktu itu' "
"Pokoknya... jangan sampai Sia mengetahuinya."
Sepertinya ada masa lalu tersembunyi dari Sia.
Cerita beralih lagi ke Sia, yang masih berada di kamarnya dan bersiap memakai baju hendak keluar. Sewaktu bagian lengannya ditarik, tiba-tiba kancingnya copot dan menggelinding ke bawah ranjangnya.
"Duh! Kancingnya...!"
"Dia jatuh ke mana sih? Duh, cuma kancing saja bikin masalah."
Gerutu Sia sambil merogoh-rogoh bawah kolong ranjangnya.
"Hampir saja nggak ketemu gara-gara jatuhnya di bawah ranjang."
DEG! Sia terkejut sewaktu mengambil kancingnya, ada benda lain yang ikut terambil olehnya, yaitu selembar foto.
"...Hm? Apa ini?"
Foto itu bergambar Sia sewaktu kecil, berdiri tersenyum di depan gerbang sebuah sekolahan.
"Eh, ini fotoku. Kapan dicepretnya ya?"
"Hm...?"
Sia memperhatikan sesuatu di foto itu.
"SD.... Cheongsol?"
"Apa ini... aku kan nggak pernah sekolah di SD ini..."
"Lalu... kenapa aku bisa berada di tempat ini?"
Ini di mana?
Sia memulai dengan menarasikan masa kecilnya.
"Sejak kecil, yang bisa kulakukan tidaklah banyak"
"Sia! Siapa anak perempuan itu? Anak perempuan yang kamu gandeng tangannya itu!", bentak sang ayah pada Sia kecil.
"Dia cuma teman sekelasku..."
"Bisa-bisanya kamu berteman sama manusia! Manusia itu cuma mangsa...!!", bentak sang ayah lagi.
"Kamu itu vampir! Kamu harus tahu itu!!"
"Tidak boleh punya hubungan dekat sama manusia! Mengerti?!"
"Aku tidak tahu kenapa ayah selalu berkata padaku seperti itu"
"Aku tidak suka cara ayah yang seperti ini"
"Awalnya kukira Ragi dan kak Moran juga diperlakukan seperti itu."
"Jadi aku tidak pernah menanyakannya pada mereka."
"Tapi, ternyata perlakuannya berbeda..."
"Ini nggak adil!! Ini diskriminasi!!"
"Kenapa cuma aku yang diperlakukan begini...!!"
kata Sia penuh kesal dalam hatinya
"Tok-Tok--- Putriku, apa kamu masih hidup?" sang ibu mendatangi Sia yang diam saja terbaring di kasurnya
"Besok kamu sudah mau kembali ke apartemen lagi kan? Ibu mau lihat wajah cantikmu dulu." sang ibu duduk di kasur sambil membelai-belai dengan hangat rambut Sia.
"Masih marah sama ayahmu ya?"
"Berilah ayahmu pengertian, dia itu tidak pintar bicara."
"................." Sia terdiam sejenak
"...Ibu, aku ini anak pungut ya?"
Tanya Sia, disambut agak terkejutnya sang ibu.
"Hahaha-- kamu itu bicara apa sih. Kan jelas-jelas kamu tumbuh secantik ibu."
"Tapi...!!! Kalau aku bukan anak pungut, lalu kenapa ayah begini terhadapku!!" Tanya Sia dengan nada agak tinggi
"Kenapa ayah cuma begini terhadapku, sementara Ragi sama kak Moran tidak diapa-apakan?!"
"Sebenarnya... ibu bisa mengerti kenapa ayahmu berbuat begini"
"Soalnya sejak kecil kamu itu suka bikin masalah."
"Dulu kamu suka merusak barang, suka nggak bikin PR, suka dipaksa ke sekolah."
Jawab sang ibu disambut dengan suramnya ekspresi wajah Sia.
"Tapi sebenarnya semua itu karena kamu terlalu jujur dan aktif"
"................." Sia terdiam sejenak
"....masa sih, dulu aku seperti itu? Aku nggak begitu ingat"
"Sia, dulu kamu suka membawa siapa pun main-main ke mana saja."
"Dulu kamu sangat periang, sangat berperasaan..."
"Tetapi inilah yang sangat dicemaskan sama ayahmu..."
"Karena kamu sangat mudah bergaul dengan manusia, jadi kalau kamu tidak dijaga, bisa-bisa kamu menghisap energi di mana-mana."
"Memang sih, sekarang kamu sudah besar. Tapi ayah masih melihat kamu seperti anak-anak."
"Itulah sebabnya ayah ketat sekali kalau sama kamu. Bukan karena dia nggak suka sama kamu."
"Biarpun begitu, ayah cukup bicara baik-baik saja sama aku, kan? Nggak perlu mengawasiku sampai seperti ini...!!"
"Duh nak-- kalau kamu itu bisa mendengarkan kata-kata ayahmu, dia pasti mau bicara baik-baik sama kamu. Masalahnya kamu suka berbuat apa pun yang kamu suka. Ingin makan langsung makan. Maunya mencari makanan yang enak-enak saja."
GLEK! Wajah Sia suram.
"Sebelum kamu kembali ke apartemen nanti, baik-baiklah dulu sama ayahmu. Bisa kan?"
"Iya, aku mengerti..."
"Ah, ibu lupa kalau masih mencuci baju! Ibu pergi lihat bajunya dulu ya"
Sang ibu pun bergegas pergi dari kamar Sia, lalu sembari sendirian di atas ranjang, Sia berbicara sendiri:
"Apakah semua ini karena aku saja yang terlalu sensitif...?"
"Ya sudahlah. Dari dulu ayah itu memang seperti ini. Lagian besok juga sudah hari yang terakhir, setelah itu kami bakalan lama nggak ketemu."
"Aku mau beres-beres barangku dulu."
Sementara itu di ruang kerjanya, Moran menelpon ayahnya.
"Halo? Ayah ya?"
"Ini aku, Moran"
"Besok aku mau pulang ke rumah sebentar, sekalian melihat-lihat keadaan Sia."
"Bagaimana keadaan Sia...?"
"Sebenarnya beberapa hari lalu semuanya berjalan lancar, ...tetapi hasilnya masih sama saja" jawab ayahnya
"Tapi... apa kamu sudah benar-benar yakin?"
"Kalau Sia punya hubungan yang sangat dekat... dengan manusia?"
"...aku rasa iya"
"Tapi ayah tidak perlu cemas, ini bisa kuatur"
"Tidak perlu terlalu menekan dia, ayah biasa-biasa saja terhadapnya."
"Kalau tidak hati-hati... bisa-bisa kita mengingatkannya pada 'kejadian waktu itu' "
"Pokoknya... jangan sampai Sia mengetahuinya."
Sepertinya ada masa lalu tersembunyi dari Sia.
Cerita beralih lagi ke Sia, yang masih berada di kamarnya dan bersiap memakai baju hendak keluar. Sewaktu bagian lengannya ditarik, tiba-tiba kancingnya copot dan menggelinding ke bawah ranjangnya.
"Duh! Kancingnya...!"
"Dia jatuh ke mana sih? Duh, cuma kancing saja bikin masalah."
Gerutu Sia sambil merogoh-rogoh bawah kolong ranjangnya.
"Ah, ketemu! Ketemu!"
"Hampir saja nggak ketemu gara-gara jatuhnya di bawah ranjang."
DEG! Sia terkejut sewaktu mengambil kancingnya, ada benda lain yang ikut terambil olehnya, yaitu selembar foto.
"...Hm? Apa ini?"
Foto itu bergambar Sia sewaktu kecil, berdiri tersenyum di depan gerbang sebuah sekolahan.
"Eh, ini fotoku. Kapan dicepretnya ya?"
"Hm...?"
Sia memperhatikan sesuatu di foto itu.
"SD.... Cheongsol?"
"Apa ini... aku kan nggak pernah sekolah di SD ini..."
"Lalu... kenapa aku bisa berada di tempat ini?"
Dan episode ini diakhiri dengan sebuah misteri baru.
----- TO BE CONTINUED ----
SUMBER TEKS BERASAL DARI UNTOUCHABLE LINE WEBTOON BAHASA MANDARIN DAN KOREA. NARASI KAMI TAMBAHKAN SENDIRI UNTUK MEMPERMUDAH MEMBAYANGKAN TANPA MELIHAT GAMBARNYA. HASIL AKHIR PADA KOMIK BISA JADI ADA PERBEDAAN KARENA AKAN MENGALAMI PENYESUAIAN BEGITU VERSI INGGRISNYA KELUAR.
Advertising
Tidak ada komentar:
Posting Komentar